Perancangan Buku Tema Pahlawan Dewi Sartika
Target Audience buku
Media
Tokoh
Cerita Kunci
Situs
Buku Fisik
MENDIRIKAN SEKOLAH
Dewi Sartika sebagai pelopor pendidikan perempuan dimana perempuan harus memiliki kemampuan untuk membaca, menulis, matematika, kesehatan, dan bahasa Belanda sebagai tambahan
Infografis
majoritas berbentuk teks
media informasi yang dapat berbentuk teks dengan perpanduan gambar, grafik, ilustrasi, dan tipografi
Poster
media informasi yang berbentuk visual
media informasi yang bermajoritas berbentuk teks di pasangkan dengan cover buku yang menarik
1904: Mendirikan sebuah sekolah yang diberi nama "sekolah isteri"
1910: mengubah nama sekolah menjadi sekolah keutamaan istri dan menambahkan beberapa mata pelajaran baru
1912: sembilan sekolah istri didirikan di kota-kota kabupaten
1914: Sekolah tersebut diganti namanya menjadi Sekolah Keutamaan perempuan
LATAR BELAKANG
Setelah ayahnya meninggal Dewi Sartika di asuh oleh pamannya
Dewi Sartika menunjukkan bakat dalam bidang pendidikan dan ingin memberikan kesempatannya ke anak-anak perempuan lainnya
KELUARGA
R. Somamur (Kakak Laki-laki)
R. Yunus (Kakak Laki-laki)
R. Entis (Kakak laki-laki)
R. Sari Pamerat (Kakak laki-laki)
R. Rangga Somanagara (Ayah)
R. A. Rajapermas (Ibu)
Raden Kanduruhan Agah Suriawinata (Suami)
anak-anak berumur 11 keatas
PENGHARGAAN
Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan.
Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.
KURIKULUM
Kurikulum yang diberikan di sekolah pimpinan Raden Dewi Sartika itu disesuaikan dengan kurikulum Sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse Inlandsche School) milik pemerintah, tetapi ditambah dengan mata pelajaran keterampilan, seperti memasak, mencuci, menyetrika, membatik, menjahit, menisik, merenda dan menyulam, yang ada hubungannya dengan kepentingan rumah tangga.
GAGASAN
Zaman Kerajaan Mataram berkembang feodalisme yang menempatkan instri sebagai lambang status seorang pria
Kedatangan agama Islam, masyarakat saat itu banyak yang salah memahami konsep perempuan dalam Islam (Perempuan dianggap lebih lemah dari laki-laki)
Perkawinan, kerap terjadi kawin paksa atau kawin gantung (pernikahan anak-anak)