Preservation and Modernity: Competing Perspectives, Contested
Histories and the Question of Authenticity
Preservation as a Discourse of Nation and Empire
Pelestarian arsitektur berkembang bersamaan dengan nasionalisme pada abad ke-19.
Konsep "tradisi yang diciptakan" (Hobsbawm & Ranger) digunakan untuk membangun narasi sejarah nasional.
Pelestarian sering digunakan untuk mendukung identitas nasional dan membentuk kebanggaan bangsa.
Di Prancis, Viollet-le-Duc menggunakan pelestarian untuk membangun narasi sejarah kemajuan peradaban.
Dalam kolonialisme, pelestarian digunakan untuk membentuk citra budaya kolonial dan membedakan "modern" dari "primitif".
Contoh: Pelestarian arsitektur di Kairo dilakukan untuk mempertahankan citra "Islam abad pertengahan" bagi kepentingan kolonial Eropa.
Preservation in the Post-War World
Setelah Perang Dunia II, banyak bangunan bersejarah hancur akibat perang dan urbanisasi cepat.
Muncul gerakan profesionalisasi pelestarian dengan pembentukan organisasi seperti UNESCO, ICCROM, dan ICOMOS.
Standarisasi pelestarian dilakukan melalui dokumen seperti Athens Charter (1931) dan Venice Charter (1964).
Pelestarian mulai digunakan sebagai alat untuk membangun kembali kota pascaperang, seperti dalam rekonstruksi London.
Muncul kritik terhadap pelestarian yang hanya berfokus pada monumen dan mengabaikan kelompok minoritas dan sejarah lokal.
Preservation and Postmodernism
Pada tahun 1970-an, postmodernisme mengkritik konsep sejarah linier dan narasi besar dalam pelestarian.
Arsitek seperti Charles Jencks dan Robert Venturi menyerukan pendekatan yang lebih plural dalam pelestarian.
Pelestarian mulai mencakup bangunan modern dan bangunan yang dulunya tidak dianggap sebagai warisan budaya.
Burra Charter (1979) memperluas konsep warisan untuk mencakup situs budaya, alam, dan warisan masyarakat adat.
Pelestarian tidak hanya untuk bangunan elit, tetapi juga untuk ruang publik dan sejarah komunitas marginal.
Contoh: Pelestarian kota Tel Aviv sebagai "kota Bauhaus" digunakan untuk membentuk identitas nasional Israel, sementara mengabaikan sejarah Palestina.
The Globalization of Preservation
Globalisasi mengubah cara pelestarian dilakukan, dengan meningkatnya peran pasar dan komodifikasi warisan.
Pelestarian semakin dikaitkan dengan pariwisata, gentrifikasi, dan kapitalisme global.
Muncul kritik terhadap konsep "autentisitas universal" dalam pelestarian, seperti dalam Nara Document on Authenticity (1994).
Beberapa kota, seperti Hong Kong, mengalami "penghilangan budaya", di mana pelestarian dilakukan secara selektif untuk kepentingan ekonomi dan politik.
Di beberapa negara, pelestarian digunakan sebagai alat rekonsiliasi sejarah, seperti dalam proyek Constitution Hill di Afrika Selatan.
Restorasi St. Peterschurch di Leuven, Belgia
Kasus restorasi St. Peterschurch di Leuven menunjukkan bagaimana pelestarian arsitektur sering kali bukan sekadar menjaga sejarah, tetapi juga membentuk ulang sejarah sesuai dengan standar estetika dan narasi tertentu. Dalam artikel Preservation and Modernity, dijelaskan bahwa pelestarian arsitektur tidak hanya dipengaruhi oleh niat untuk menjaga masa lalu, tetapi juga oleh kekuatan politik, ekonomi, dan budaya yang membentuk interpretasi tentang apa yang dianggap autentik.
Dalam kasus ini, keputusan untuk menghancurkan bagian asli gereja yang belum selesai demi menciptakan tampilan yang lebih "utuh" mencerminkan paradoks dalam praktik pelestarian. Seperti yang dikemukakan dalam artikel, pelestarian sering kali beriringan dengan penghapusan elemen sejarah yang tidak sesuai dengan visi modern tentang warisan budaya. Ini menunjukkan bahwa pelestarian tidak selalu tentang mempertahankan keaslian, tetapi bisa menjadi alat untuk membentuk memori kolektif sesuai dengan kepentingan institusi yang berwenang.
Dengan demikian, kasus St. Peterschurch menguatkan argumen utama dalam Preservation and Modernity: bahwa pelestarian adalah proses yang kompleks dan penuh kontradiksi, di mana batas antara menjaga, menghapus, dan menciptakan kembali sejarah sering kali kabur