Ketika virus menginfeksi seseorang (inang), artinya virus tersebut menyerang sel-sel pada tubuh inang sehingga virus tersebut bertahan ‘hidup’ dan memperbanyak diri (bereplikasi) di dalam sel inang. Secara umum, ada 3 mekanisme respon imun untuk mengeliminasi infeksi virus, yang akan dijabarkan sebagai berikut.
Melalui antibodi. Sebelum masuk menginfeksi ke dalam sel inang, virus dapat disingkirkan oleh antibodi. Antibodi adalah suatu protein yang secara spesifik mengenali antigen, termasuk virus, dan akan berikatan dengannya. Ikatan antibodi dengan virus akan membasmi virus dengan cara: (a) antibodi menetralisasi virus sehingga virus tidak lagi bisa menginfeksi sel inang; (b) beberapa antibodi dapat bekerja sekaligus bersamaan sehingga partikel virus berlekatan menjadi agregat (proses ini disebut aglutinasi) dan menjadi target yang jauh lebih mudah dikenali oleh sel-sel dalam sistem imun; (c) kompleks antibodi-virus akan berikatan pada reseptor permukaan sel sehinga mengaktivasi proses fagositosis, yaitu proses “penelanan” dan perusakan virus oleh sel fagosit (misalnya makrofag); dan (d) mengaktivasi sistem komplemen, yang pada akhirnya akan mengopsonisasi dan memfagositosis virus (3).
Mekanisme sitotoksik. Jika virus sudah masuk mengineksi ke dalam sel inang, sel-sel sistem imun tidak dapat “melihat” atau mendeteksi keberadaan virus tersebut sehingga tubuh tidak tahu jika sel inang telah terinfeksi. Untuk mengatasi hal tersebut, sistem imun memiliki suatu metode yang mampu memperlihatkan apa yang ada di dalam suatu sel dengan menggunakan suatu molekul protein yang dinamakan MHC kelas I (class I major histocompatibility complex). MHC kelas I ini bertugas mempresentasikan potongan protein (peptide) hasil produksi virus di dalam sel ke permukaan sel.Salah satu jenis sel limfosit T, yaitu sel T sitotoksik, mampu mengenali MHC pada sel yang telah terinfeksi virus. Proses interaksi sel T dengan MHC ini akan memicu sel T memproduksi senyawa yang akan membunuh sel yang terinfeksi virus tersebut[3].Namun demikian, virus memiliki kemampuan beradaptasi yang sangat tinggi, sehingga akhirnya juga dapat meloloskan diri dari deteksi oleh sel T, misalnya dengan cara menekan molekul MHC. Di sisi lain, sistem imun juga memiliki sel NK yang dapat mendeteksi sel yang memiliki jumlah molekul MHC jauh lebih sedikit dari ‘normal’. Sel NK ini juga akan mentarget sel tersebut yang terinfeksi virus tersebut dengan cara yang mirip dengan sel T sitotoksik[3].
Melalui interferon. Selain dengan mekanisme sitotoksik, sel inang yang terinfeksi virus tersebut akan memproduksi dan melepaskan molekul protein yang disebut Interferon menghambat replikasi virus di dalam sel inang. Selain itu, interferon juga berperan sebagai molekul sinyal yang akan “memperingatkan” sel-sel sehat di sekitar sel yang terinfeksi akan keberadaan virus. Sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi ini akan “bersiaga” dengan meningkatkan jumlah MHC kelas I pada permukaannya, sehingga dapat diidentifikasi oleh sel T yang akan mentarget sel tersebut yang terinfeksi virus tersebut dengan cara yang mirip dengan sel T sitotoksik[3].