Sejarah Sebelum Merdeka

Awal Kemerdekaan "Merdeka ga merdeka"

Anomie

Inflasi

Invasi Jerman

Agresi Militer

KMB

Efek yang dirasakan Indonesia dari hasil KMB

Solusi yang dilakukan presiden untuk menyelesaikan masalah KMB

Isi perjanjian KMB

Masalah yang tidak dapat dipecahkan di KMB dan hasilnya

Perdebatan Irian Barat

Serba - Serbi Tokoh Papua, Nasional, dan PEPERA

PEPERA

Kapan, dan apa kontroversi dari peristiwa ini

Asal muasal nama Irian

Usaha Soeharto untuk melancarkan PEPERA melalui kebijakan, pendekatan, dan ancaman.

Hadirnya Amerika Serikat, dan sebab Amerika Serikat hadir

Efek yang dirasakan masyarakat Irian Barat dari PEPERA

Hadirnya Freeport McMoran

Perjanjian New York

Lamanya durasi ditundanya masalah ini

Perbedaan Soeharto dan Soekarno dalam memandang "asing"

Hadirnya Abdurrahman Wahid dan efek yang ditimbullkan bagi masyarakat Papua

Munculnya seorang Frans Kaisiepo sebagai "The Hero of Papua"

Perubahan strategi PEPERA oleh pemerintah Indonesia

Perjanjian New York menyatakan bahwa Belanda harus menyerahkan Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) paling lambat tanggal 1 Oktober 1962. Perjanjian New York ini juga menjadi dasar diadakannya Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Frans dan Corinus mengambil kata Irian dari bahasa Biak yang artinya Panas karena tanah Papua adalah tempat matahari terbit. Promosi nama dilakukan kepada kepala-kepala suku dan dititipkan kepada Frans yang mewakili pemuda Papua dalam Konferensi Malino tanggal 18 Juli 1946.

Pada 11 Juni 1964 dibentuk komisi bersama Indonesia dan Belanda guna memastikan proses referendum berjalan aman. Sulitnya infrastruktur di Irian Barat dan perubahan politik di Indonesia menyebabkan Pepera baru dilaksanakan pada 1969, dengan dihadiri oleh utusan PBB masyarakat Irian Barat menyatakan memilih bergabung dengan Indonesia. Hasil ini kemudian dilaporkan kepada Pemerintah Indonesia di Jakarta, Presiden Soeharto pun mengubah nama Irian Barat menjadi Irian Jaya dan menetapkannya sebagai provinsi ke-26. Namun, di era Abdurrahman Wahid (Gus Dur), namanya diganti menjadi Papua.

Amerika Serikat memiliki kepentingan di kawasan Asia dalam rangka membendung komunis khususnya di Indonesia dan Amerika Serikat bermaksud untuk menjauhkan Indonesia dari ketergantungannya pada Uni Soviet. Sehingga Amerika Serikat bersedia menjadi mediator dalam penyelesaian konflik Irian Barat. Selain itu, Amerika juga ingin mendapatkan sumber daya alam yang berlimpah dari Papua.

Masuknya Freeport ke Indonesia bermula dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh Suharto. Pada April 1967, berbekal undang-undang yang baru disahkan, Freeport berhasil masuk ke Indonesia. Penandatanganan kontrak karya selama 30 tahun antara pemerintah Indonesia dengan Freeport menandai awal dari sejarah panjang Freeport di Indonesia.

Pepera ini dilaksanakan pada tahun 1969.
Walau hasil Pepera telah diratifikasi oleh PBB, pelaksanaan Pepera masih sering dianggap sebagai Pemaksaan Pendapat Rakyat. Setelah kepemimpinan Suharto jatuh pada tahun 1998, Uskup Agung Desmond Tutu dan sejumlah anggota parlemen Eropa dan AS meminta Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan untuk meninjau kembali peran PBB dalam Act of Free Choice. Beberapa telah meminta PBB untuk mengadakan referendum sendiri berdasarkan kriteria pemungutan suara yang digariskan dalam perjanjian New York. Selain itu, mereka juga melihat izin pertambangan yang dijual Indonesia kepada Freeport-McMoran pada tahun 1967 dengan masa kontrak 30 tahun sebagai dasar bahwa Undang-Undang Pilihan Bebas 1969 tidak sah.

Warga Irian Barat pada waktu itu sangat menderita karena pemaksaan, penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, yang akan berdampak besar pada masyarakat Papua yang andai sudah dimasukkan dalam kekuasaan Pemerintah Kolonial Indonesia.

Indonesia memobilisasi militer secara besar-besaran ke Papua untuk meredam gerakan Pro-Merdeka. Operasi Khusus (OPSUS) yang diketuai Ali Murtopo, bertugas untuk memenangkan Pepera, selanjutnya diikuti operasi militer lainnya yaitu Operasi Sadar, Operasi Kancil, Operasi Bhratayudha, Operasi Wibawa dan Operasi Pamungkas. Akibat dari operasi-operasi tersebut terjadi pelanggaran HAM yang luar biasa besar, yakni penangkapan, penahanan, pembunuhan, manipulasi hak politik rakyat Papua, pelecehan seksual, pelecehan kebudayaan, rasialis dalam kurun waktu 6 tahun dan kejahatan kemanusiaan yang terus terjadi hingga dekade ini.

Kebijakan Nazi bertujuan untuk menghancurkan Uni Soviet sebagai entitas politik sesuai dengan geopolitik untuk kepentingan masa depan generasi " Arya "

Di awal kemerdekaan, RI pernah mengalami inflasi yang turut memperparah kondisi krisis ekonomi akibat blokade dagang yang dilakukan oleh Belanda. Inflasi pada awal kemerdekaan disebabkan oleh mata uang Jepang yang beredar di masyarakat tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah.

Secara umum, anomie dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana masyarakat kehilangan norma-normanya. Menurut Emile Durkheim, anomie adalah suatu keadaan tanpa norma dan tanpa arah, sehingga dalam masyarakat tidak terjadi penyesuaian antara kenyataan yang diharapkan dengan kenyataan sosial yang ada. Alhasil sebab tiadanya norma ataupun peraturan, semua dilanda oleh kekacauan.

Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia tidak serta merta bebas dari penjajah. Belanda masih terus berupaya merebut kemerdekaan Indonesia melalui sejumlah serangan, salah satunya Agresi Militer Belanda I atau Operatie Product. Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer yang digencarkan Belanda di Pulau Jawa dan Sumatera pada 21 Juli - 5 Agustus 1947

Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda. Persengketaan yang dibawa ke konferensi di antaranya yaitu masalah utang Belanda hingga masalah Irian Barat. Ini adalah beberapa isi perjanjian KMB:
1. Pengakuan kedaulatan atas Republik Indonesia (RI) dilaksanakan oleh Belanda selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
2. Pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkewajiban menanggung utang Hindia Belanda (HB) sebesar 4,3 miliar gulden.
3. Penyerahan kedaulatan atas wilayah bekas Hindia Belanda kepada Indonesia akan dilakukan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, terkecuali kedaulatan atas Irian Barat yang akan ditentukan kemudian, berarti tetap berada dalam kekuasaan Belanda.

Dampak dari diselenggarakannya KMB adalah Indonesia akhirnya mendapat kedaulatannya. Di mana acara penyerahan kedaulatan berlangsung pada tanggal 27 Desember 1949. Dan penandatanganan naskah penyerahan kedaulatan berlangsung di dua kota yaitu di Amsterdam dan Jakarta.

Di bawah komando Presiden Sukarno, Indonesia melakukan manuver yang mengejutkan. Robert Edward Elson dalam The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan (2008) menyebut, pada April 1956 Sukarno secara sepihak membatalkan Uni Indonesia-Belanda yang sebelumnya disepakati dalam rangkaian KMB. Uni Indonesia-Belanda disepakati pada 17 September 1949, yakni suatu pemerintahan yang dikepalai oleh Ratu Belanda untuk mengurus kepentingan bersama. Indonesia menyepakati ini karena Ratu Belanda tidak mempunyai hak-hak konstitusional, melainkan hanya sebagai simbol kerjasama kedua belah pihak. Lebih dari itu, pada Agustus 1956, Sukarno dikabarkan mengabaikan utang-utang yang dibebankan dalam KMB. Bahkan, Sukarno juga menyatakan Irian Barat sebagai provinsi otonom Indonesia (Suluh Indonesia, 21 Agustus 1956). Persoalan utang-piutang dan Irian Barat memang dua persoalan paling rumit dalam KMB. Status Irian Barat kala itu pun masih mengambang.

Masalah istilah pengakuan kedaulatan dan penyerahan kedaulatan. Indonesia menghendaki penggunaan istilah pengakuan kedaulatan, sedangkan Belanda menghendaki istilah penyerahan kedaulatan. Masalah Uni Indonesia-Belanda. Indonesia menginginkan agar sifatnya hanya kerjasama yang bebas tanpa adanya organisasi permanen. Sedangkan Belanda menginginkan kerjasama yang luas dengan organisasi yang luas pula. Masalah hutang. Indonesia hanya mengakui hutang-hutang Hindia-Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sebaliknya Belanda berpendapat bahwa Indonesia harus mengambil alih semua kekayaan maupun hutang Hindia-Belanda sampai saat itu, termasuk biaya perang kolonial terhadap Indonesia.

Presiden Soekarno, dikenal sebagai seorang seorang pembicara ulung yang bisa membangkitkan semangat nasionalisme rakyat. Beliau memiliki gaya kepemimpinan yang sangat populis, bertemperamen meledak-ledak, tidak jarang lembut, dan sangat menentang 'Asing' atau sebagainya. Sedangkan Presiden Soeharto, ia juga dikritik akan sikap diktator, penangkapan para aktivis HAM, pembunuhan massal tahun 1965, operasi militer di Aceh, dan keterlibatannya dalam kasus kolusi, korupsi, nepotisme, dan juga pernah disangka bekerjasama dengan 'Asing'.

Presiden ke-4 Indonesia itu dianggap yang paling mengerti keinginan orang Papua. "Saya pikir hanya Gus Dur saja, beliau bisa mengerti apa-apa yang bangsa Papua inginkan," kata Fidel Karma. Menurutnya, pemahaman Gus Dur itu membuat Papua bisa kembali mendapatkan identitasnya. "Sehingga membuka peluang-peluang itu untuk kami." ujar Fidel Karma. "Gus Dur lah yang mengembalikan identitas kami sebagai bangsa Papua," imbuhnya.

Frans Kaisiepo, pria kelahiran Wardo, Biak, pada 10 Oktober 1921 merupakan sosok yang sangat berjasa dalam menyatukan Papua dengan Indonesia. Namanya mungkin terdengar asing bagi sebagian besar orang di Indonesia. Namun, di Papua, beliau yang merupakan gubernur provinsi papua yang keempat adalah pahlawan yang tak kenal gentar dalam melawan kependudukan Belanda di tanah Papua.

Pada 11 Desember 2002, Pendeta Socratez dapat cerita dari Purnawirawan Polisi Christofel L. Korua. Ia berkisah: “Orang-orang Papua yang memberikan suara dalam PEPERA 1969 itu ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih itu semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia.” Menurut laporan resmi PBB, Annex1 paragraf 189-200, “Pada 14 Juli 1969, Pepera dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir.” Sementara Carmel Budiarjo punya cerita lain, cerita yang tidak kalah ngeri. Musyarawah tersebut, kata Carmel, “Dilaksanakan di bawah tekanan dari penguasa militer Indonesia.”