Please enable JavaScript.
Coggle requires JavaScript to display documents.
Debat Kelompok 2A (Pro) - Coggle Diagram
Debat Kelompok 2A (Pro)
UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja diawali dari tujuan Presiden Jokowi untuk membuka lapangan kerja yang lebih luas lagi.
Dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, diharapkan dapat merubah struktur ekonomi yang akhirnya mampu membuat perubahan terhadap semua sektor untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Ada beberapa pasal dari Omnibus Law yang bertentangan
Pasal 89 poin 20, yang dapat mengakibatkan para pengusaha untuk memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan untuk jenis-jenis pekerjaan/sektor-sektor usaha tertentu.
Pasal 42, Memungkinkan tenaga kerja asing bisa menduduki jabatan kecuali jabatan mengurusi personalia sehingga membuat tenaga kerja dalam negeri memiliki kekurangan peluang
Pasal 89 Poin 24, Upah minimum tidak diatur secara nasional melainkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman sehingga bisa mengakibatkan pemberian upah yang semena-mena
Pasal 42, Memungkinkan tenaga kerja asing bisa menduduki jabatan kecuali jabatan mengurusi personalia sehingga membuat tenaga kerja dalam negeri memiliki kekurangan peluang
Pasal 170, memberi kewenangan berlebih kepada Pemerintah. Hal ini merampas kewenangan konstitusional DPR dalam proses legislasi. ketentuan itu tak sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dan peraturan pemerintah ditetapkan oleh Presiden.
UU KPK bertentangan dengan UUD 1945
UU KPK bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 20 UUD 1945. UU KPK tidak sesuai dengan TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi.
Ditambahkannya Dewan Pengawas (5 orang) ke dalam KPK
Keberadaan Dewan Pengawas berpotensi mengganggu independensi KPK
Pencegahan dan korupsi menjadi tidak maksimal dan tidak efektif
Tidak memenuhi prosedur dan mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Tata Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan harus dinyatakan batal demi hukum.
Berpotensi menyuburkan korupsi di Indonesia
Pembubaran HTI dan FPI bertentangan dengan UUD 1945
Menurut Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 maka mekanisme pembubaran Front Pembela Islam (FPI) sudah sesuai. Namun, jika dilihat dari segi Undang-Undang Dasar 1945, pembubaran itu bisa dinilai bermasalah.
Pelanggaran UUD 1945 Pasal 28 (kasus HTI dan FPI) yang menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul bagi setiap masyarakat Indonesia.
Pelanggaran Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, Pasal 24 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
hak berserikat adalah Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dikurangi dalam keadaan darurat
Melanggar halaman 125 Putusan Mahkamah Konstitusi 82/PPU-XI/2013:
dalam kasus pembubaran FPI, berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah, tetapi tidak dapat menetapkan ormas tersebut ormas terlarang,
Kesimpulan : para anggota FPI maupun HTI yang diduga terlibat tindak pidana, seperti penggunaan kekerasan dan sebagainya, seharusnya kasusnya diusut secara hukum bagi per individu yang melanggar dan bukan dibubarkan organisasinya secara sepihak.
Perpu nomor 2 tahun 2017 (kasus FPI HTI) secara signifikan memangkas prosedur hukum pembubaran ormas. Hal ini dilakukan dengan menghapus mekanisme teguran dan pemeriksaan pengadilan. Menurut hukum internasional sebuah organisasi hanya boleh dilarang atau dibubarkan setelah ada keputusan dari pengadilan yang
independen dan netral.
RUU KUHP bertentangan dengan UUD 1945
Pasal 2 ayat (1), Pasal 598 RUU KUHP, soal "hukum yang hidup di masyarakat"
Pasal ini dapat menimbulkan kesewenangan aparat karena frasa hukum yang hidup di masyarakat multitafsir, dan tafsir hilangnya sifat melawan hukum delik materil. Pasal ini bisa menjadi ketentuan karet.
Pasal yang mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat ini mengandung penyimpangan asas legalitas dan kriminalisasi yang tidak jelas.
Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam UU ini.
Pasal 432 KUHP bertentangan dengan
pasal 34 ayat 1 UUD 1945
Kedua Pasal ini bertentangan karena berpotensi menimbulkan kriminalisasi masyarakat yang berkekurangan dengan tidak adanya penjelasan/definisi jelas dari gelandangan yang mengganggu ketertiban umum.
Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar akan dipelihara oleh negara.
Pasal 432 KUHP menyatakan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum akan mendapatkan hukuman paling banyak Rp 1 juta.
Pasal 67, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101 RUU KUHP, soal hukuman mati.
Hukuman mati seharusnya dihapuskan karena bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945.
Hukuman ini juga harus disesuakan dengan perkembangan bahwa 2/3 negara di dunia sudah menghapuskan hukuman mati.
Pemberian masa percobaan untuk menunda eksekusi pidana mati seharusnya menjadi hak setiap orang yang diputus dengan pidana mati, tidak boleh bergantung pada putusan hakim.
Pasal 281-282 RUU KUHP yang memuat masalah kriminalisasi tindak pidana contempt of court atau merendahkan pengadilan.
Pasal ini memuat rumusan karet yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat termasuk kebebasan pers.z
Pasal 440-449 RUU KUHP soal pengaturan tindak pidana penghinaan.
Pasal ini dapat dikatakan sebagai pasal karet, kecuali terdapat pengecualian sebagai berikut :
dilakukan karena terpaksa membela diri,
tidak ada kerugian yang nyata
pernyataan yang disampaikan secara emosional
pernyataan tersebut disampaikan kepada penegak hukum
pernyataan tersebut dilakukan dalam koridor pelaksanaan profesi yang dilakukan sesuai kode etik profesi
pernyataan tersebut tidak dilakukan di depan umum
merupakan korespondensi secara pribadi
pernyataan yang disampaikan adalah kebenaran