Please enable JavaScript.
Coggle requires JavaScript to display documents.
HAMBATAN DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA, Minhad Rahmaniyah_1844040006…
HAMBATAN DALAM KONSELING LINTAS BUDAYA
Dimensi dalam Pelaksaan Konseling Lintas Budaya
Konseling lintas-budaya memang merupakan hal baru. Sejalan dengan itu, pengalaman- pengalaman dalam pelaksanaan konseling terhadap orang-orang dengan latar budaya yang berlain-lainan menunjukkan bahwa pendekatan yang berlaku dalam budaya Barat belum tentu cocok untuk budaya timur.
Keberhasilan layanan konseling sangat dipengaruhi oleh factor-faktor seperti bahasa, nilai, stereotip, kelas social, suku dan bangsa, jenis kelamin.
Scenario lainnya dari konseling lintas-budaya yang dilukiskan Sue adalah (1) prosesnya tepat, (tetapi) tujuannya tidak tepat, (2) prosesnya tidak tepat, (tetapi) tujuannya tepat, dan (3) baik proses maupun tujuannya tidak tepat.
Unsur Konseling Lintas Budaya
Locke dalam Brown (1988) mengemukakan tiga unsur pokok dalam konseling lintas budaya, yaitu : 1) Individu adalah penting dan khas, 2) Konselor membawa nilai-nilai yang berasal dari lingkungan budayanya, 3) Klien yang datang menemui konselor juga membawa seperangkat nilai dan sikap yang mencerminkan budayanya.
Keberhasilan bantuan konseling sangat dipengaruhi oleh factor-faktor bahasa, nilai, stereotype, kelas sosial, suku, dan juga jenis kelamin.
Konseling lintas budaya memiliki tiga elemen yaitu: a) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling dalam latar belakang budaya (tempat) klien; b) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, ; dan c) Konselor dan klien berasal dari latar belakang budaya yang berbeda, dan melakukan konseling di tempat yang berbeda pula.
Faktor-faktor yang Menghambat Konseling Lintas Budaya
Bahasa, Perbedaan bahasa merupakan penghambat besar yang perlu diperhatikan dalam konseling lintas-budaya. Hal ini mengingat bahwa percakapan merupakan alat yang paling mendasar yang digunakan oleh konselor dalam konseling
Nilai, Nilai (value) merupakan kecenderungan/disposisi mengenai preferensi (kelebih- sukaan) yang didasarkan pada konsepsi tertentu, yaitu hal yang dikehendaki/diinginkan dan disukai orang banyak.
Stereotip, Stereotip adalah opini/pendapat yang terlalu disederhanakan, dan tidak disertai penilaian/kritikan. Stereotip merupakan generalisasi mengenai orang-orang dari kelompok lain, dimana seseorang member definisi dulu baru mengamati.
Kelas Sosial, Kelas social ini muncul mungkin karena latar belakang pendidikan, pekerjaan, kekayaan, penghasilan, juga termasuk perilaku dimana dan bagaimana individu itu membelanjakan uang. Ada tiga kelas social, yaitu kelas social atas, menengah, dan bawah.
Ras atau suku, bukti-bukti memang menunjukkan kalau klien golongan minoritas cenderung putus terapi lebih awal, tidak menetapi jadwal perjanjian, dan mengutarakan ketidakpuasannya mengenai jalannya proses bantuan.
Jenis Kelamin, Penelitian ini menunjukkan bukti-bukti tidak hanya mengenai adanya stereotip jenis kelamin diantara para terapis, tetapi juga tentang stereotip perempuan yang merendahkan.
Usia, Perkembangan selanjutnya konseling melayani segala usia, dari mulai anak-anak sampai masa tua. Masing-masing perkembangan (usia) mempunyai karakteristik yang berbeda, yang harus dipahami terutama konselor.
Preferensi seksual, Usaha-usaha yang dilakukan orang untuk mengatasi masalah seksualitasnya merupakan isu yang lazim menjadi bahan kajian dalam konseling.
Gaya hidup, Profesi konseling sudah mencapai posisi dimana semua minat individu dan masyarakat dilayani dengan lebih efektif di dalam budaya majemuk, yang menganggap sahnya berbagai gaya hidup.
Keadaan orang-orang cacat, Keadaan orang cacat merupakan penghambat bagi pelaksanaan konseling. Keadaan cacat yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi perilaku, sikap, kepekaan perasaan, dan reaksinya terhadap lingkungan.
Minhad Rahmaniyah_1844040006_Konseling Lintas Budaya_Mind Mapping Materi Kelompok 10