Please enable JavaScript.
Coggle requires JavaScript to display documents.
Seksualitas dalam Perspektif Budaya Marind Anim - Coggle Diagram
Seksualitas dalam Perspektif Budaya Marind Anim
Konsep Kebudayaan dan Perilaku Seksual
Di Papua bagian Selatan, praktik seks berupa homoseksual dijadikan sebagai bagian dari upacara adat.
"Boy-Insemination"
Faktor kebudayaan dan lingkungan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan perilaku seksual individu-individu terutama dalam perilaku homoseksual, heteroseksual, masturbasi, dan sifat
interspecific sex
. Dalam model analisis kebudayaan lebih ditekankan pada “ideasionalisme”
(ideationalism) **(Keesing,1981; Sathe,1985)
.
Teori yang berkaitan dengan idesionalisme menekankan konsep utama adalah kebudayaan, bukan perilaku, tetapi perilaku merupakan konsekuensi logis yang tidak terpisahkan dari kebudayaan.
Berdasarkan disiplin Antropologi, studi seksualitas dilakukan dengan menggunakan 2 pendekatan:
pendekatan kebudayaan dan pendekatan struktur-fungsionalisme
Pendekatan Struktural-Fungsional: tingkah laku seksual merupakan satu aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan antara individu sehingga dengan demikian tingkah laku seksual merupakan bagian dari struktur masyarakat.
Misalnya dalam tatanan adat bahwa budaya perilaku seksual homoseksual dan heteroseksual pada orang Marind-Anim berkaitan dengan fungsi dan struktur sosial masyarakat khususnya dalam simbol kesuburan, dan keperkasaan, itu bisa berubah, akibatnya keseimbangan struktur dan fungsi sosial secara adat akan terganggu dan ini bisa tertata kembali secara otomatis.
Suku Bangsa Marind-Anim dan Perilaku Seksua
l
1. Perilaku Seksual dalam Mite Ndiwa
Dalam budaya Mayo, Imo, Sosom, ada upacara-upacara yang dilakukan secara religius, yang dimaksudkan untuk menghadirkan roh ilahi yang ada dalam diri Ndiwa. Makna dari upacara ini salah satunya untuk mendidik kaum pria remaja guna mendapat kekuatan ilahi dalam menjaga tatanan hidup yang seimbang antara manusia dan lingkungan.
Inti dari upacara tersebut adalah:
(a) inisiasi bagi para remaja supaya menjadi anggota masyarakat secara penuh; (b) membawa kesuburan dan dankeseimbangan hidup manusia; (c) mengadakan hubungan dengan para leluhur.
2. Perilaku Seksual dalam Upacara Bambu Pemali (Barawa
)
Bambu Pemali adalah suatu proses belajar seks menurut aliran Mayo. Menurut aliran Mayo, manusia pertama adalah
“Geb”
yang diberikan tanggung jawab untuk melestarikan alam dengan makan buah Kawalik yang mengembara sampai ke kali Goroka dan mengganti kulit (Ibahu).
Pada upacara tersebut mengajarkan laki-laki dan perempuan dalam berhubungan seks supaya bisa keluar spermanya melalui hubungan antara
“perai”
= vagina dengan
“ezom”
= penis. Melalui perai inilah yang akan melahirkan manusia. Pada saat itulah mereka mulai melakukan hubungan seks secara bebas.
3. Perilaku Seksual dalam Upacara Ezam Uzum
Setiap melakukan upacara, kepala adat atau pemimpin upacara selalu akan melakukan hubungan seksual dengan ibu-ibu janda sebanyak tiga sampai lima orang ibu. Tujuannya untuk mendapatkan sperma, yang akan dipakai dalam kepentingan upacara tersebut, karena sperma tersebut melambangkan kesucian guna mengusir setan.
4. Perilaku Seksual dalam Upacara Subawakum
Dalam upacara ini, semua perempuan memasukkan
“bambu gila
” atau
“welu”
di celah pangkal paha dan dipegang ramai-ramai sepanjang malam. Biasanya pasangan perempuan dari dua paroh yang berbeda yang memegang yaitu dari Gebze dan Sami. Kalau klen Sami memegang bambu gila pada malam hari, maka menjelang hampir siang akan dibantu oleh klen Gebze, maka terjadilah proses tolong menolong yang disebut “Subawakum”. Akhir dari proses tolong menolong inilah maka terjadilah hubungan seksual dengan penukaran pasangan.
5. Perilaku Seksual dalam Upacara Kambara
Sperma dipakai untuk membunuh manusia yang melewati batas atau perilakunya sudah berlebihan di desa itu, untuk mendapatkan sperma tersebut, orang tua yang perkasa akan bersetubuh dengan seorang wanita, satu orang wanita tersebut dapat bersetubuh dengan 5 orang laki-laki perkasa. Sperma dipakai bisa untuk membunuh orang dan menyembuhkan orang.
6. Perilaku Seksual dalam Adat Perkawinan
Orang Marind, ketika sudah beranjak dewasa, laki-laki dan perempuan dapat saling mengenal, dalam satu pesta yang berhubungan dengan upacara seksual (berhubungan seksual).
Persetubuhan secara heteroseksual sebelum menikah banyak dilakukan pada upacara seksual untuk meningkatkan kesuburan dan menambah kecantikan bagi wanita.
Sakralitas atas Alam Marind-Anim
Simbol yang paling kuat adalah pengasosiasian dengan mama, ibu atau rahim mama, yang merupakan representasi dari kesuburan dan kehidupan.
Bagi mereka, pertemuan antara sperma dan cairan vagina dipercaya sebagai kekuatan (Wih). Wih ini dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit selain untuk menyuburkan tanah. Selain itu, Wih juga dipercaya dapat menjadi medium yang menghadirkan kekuatan yang tak terbayangkan oleh manusia.
Pada suku Marind ini, anak perempuan akan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya sementara anak laki-laki dianggap membutuhkan perhatian dan pelajaran ekstra.
Namun perempuan tidak diikutsertakan dalam ritual, tidak memiliki suara dalam melakukan hal tersebut. Perempuan diizinkan untuk memiliki tarian seremoni mereka sendiri.
Menurut Van Baal, pergaulan bebas yang dilakukan oleh suku Marind bukan pertukara n wanita pada umumnya, tetapi kewajiban yang bertumpu pada satu atau beberapa wanita yang secara seksual harus memuaskan sejumlah besar pria secara berurutan. Sehingga ini memungkinkan tidak adanya kehamilan karena radang servik uteri kronis dan iritasi kronis pada organ genital wanita sebagai konsekuensi dari kopulasi yang berlebihan